twitter
rss

1. Pengertian Konstitusi
Konstitusi berasal dari bahasa Latin, yaitu constitution yang diartikan sebagai keseluruhan peraturan, baik yang tertulis, maupun tidak tertulis. Selain itu konstitusi juga mengatur tata cara yang mengikat bagaimana suatu pemerintah menyeleng garakan pemerintahan dalam suatu negara. Kons titusi sebagai naskah tertulis atau yang hanya diartikan sebagai Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan undang-undang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Secara isi (materi) konstitusi dalam bentuk UUD merupakan peraturan yang bersifat mendasar. Hal ini berarti konsitusi hanya memuat hal-hal yang bersifat pokok, dasar, atau asas-asas saja.
Menurut Usep Ranawidjaya (pakar hukum tata negara), konstitusi memiliki dua pengertian, yaitu konsti – tusi dalam arti luas dan konstitusi dalam arti sempit. Konstitusi dalam arti luas mencakup segala ketentuan yang berhubungan dengan keorganisasian negara, baik yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar, Undang-Undang organik, per aturan per undangan lainnya, maupun kebiasaan atau konvensi. Konstitusi dalam arti sempit dapat diartikan Undang-Undang Dasar saja. Konstitusi memiliki dua sifat, yaitu luwes (flexible) atau kaku (rigid), dan tertulis atau tidak tertulis. Oleh karena itu, untuk menentukan suatu konstitusi bersifat luwes atau kaku dapat dinilai dari cara mengubah konstitusi, apakah konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman?
Konstitusi pada hakikatnya adalah suatu hukum dasar yang merupakan dasar bagi peraturan perundangan lainnya. Oleh karena itu bagi negara yang menganggap bahwa konstitusi tidak dapat diubah dengan cara yang mudah maka konstitusi tersebut dapat dianggap sebagai konstitusi yang kaku (rigid). Adapun bagi negara yang menganggap bahwa pengubahan konstitusi tidak perlu dilakukan secara istimewa, yaitu cukup dilakukan oleh lembaga pembuat undang-undang maka negara tersebut menerapkan konstitusi yang luwes. Dengan demikian, untuk menilai bahwa suatu konstitusi itu luwes atau kaku dapat dilakukan dengan menilai apakah suatu konstitusi tersebut mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman.
Konstitusi yang mudah mengikuti per kembangan zaman biasanya mengatur hal-hal pokok dalam bernegara. Hal ini disebabkan peraturan yang bersifat khusus biasanya diatur oleh peraturan yang lebih rendah derajatnya dan lebih mudah membuatnya. Jadi, konstitusi yang bersifat luwes adalah konstitusi yang mampu mengikuti perkembangan zaman.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi atau hukum dasar tertinggi bangsa Indonesia adalah konstitusi yang dapat digolongkan kaku dan luwes. UUD 1945 dikatakan kaku karena untuk mengubah UUD itu bukanlah hal yang mudah. Hal ini terlihat dalam Pasal 37 ayat 1 UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir. Sejak tahun 1999 MPR telah mengadakan perubahan (Amandemen) terhadap UUD sebanyak empat kali. UUD 1945 juga dapat digolongkan sebagai konstitusi yang luwes, jika ditinjau bahwa UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok dan pengaturan nya ditentukan oleh peraturan yang lebih rendah derajatnya.
Sifat konstitusi kedua adalah konstitusi yang tertulis atau tidak tertulis. Konstitusi dinyatakan tertulis, jika ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah. Konstitusi dinyatakan tidak tertulis, jika ketentuanketentuan yang mengatur suatu pemerintahan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu, melainkan dalam suatu konvensi atau Undang-Undang biasa. Satu-satunya negara di dunia yang menerapkan konstitusi tidak tertulis adalah negara Inggris. Undang-undang Inggris, yaitu Bill of Rights.
2. Konstitusi di Suatu Negara
Semua negara di dunia memiliki konstitusi dan hampir semua negara memiliki konstitusi tertulis dan sebagian kecil saja memiliki konstitusi tidak tertulis. Konsti tusi tidak tertulis bukan berarti konstitusi tersebut tidak ditulis, melainkan konstitusi tersebut tidak dikodifikasikan (dibukukan) dalam satu naskah tertentu, atau konstitusi tersebut hanya dibuat dalam undangundang biasa. Indonesia, Amerika, Belanda, dan negara lain di dunia memiliki konstitusi dalam bentuk tertulis.
Konstitusi dalam arti sempit diartikan sebagai Undang-Undang Dasar (hukum dasar). Dalam perkembangannya, konstitusi di banyak negara adalah konstitusi yang selalu dapat mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat maka konstitusi tersebut harus dapat diubah dan hanya mengatur hal-hal yang sifatnya pokok.
Konstitusi dalam arti UUD selalu menempatkan satu pasal tentang pengubahan UUD tersebut. Dalam UUD 1945 terdapat pasal yang memberikan tempat ter hadap pengubahan. Pengubahan UUD menurut Sri Soemantri (pakar hukum tata negara) dapat me ngandung dua tujuan, yaitu:
a. mengubah sesuatu yang telah diatur dalam UUD/ konstitusi;
b. menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam UUD/konstitusi.
Pengubahan UUD dalam pelaksanaannya tidak semudah seperti mengubah undang-undang biasa. Berdasarkan pendapat C. F. Strong (pakar hukum tata negara) yang kemudian dikutip oleh Sri Soemantri (pakar hukum tata negara) dikemukakan bahwa untuk mengubah konstitusi dapat dilakukan oleh:
a. kekuasaan legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu;
b. rakyat melalui suatu referendum;
c. sejumlah negara bagian (untuk negara serikat);
d. kebiasaan ketatanegaraan atau oleh suatu lembaga negara yang khusus dibentuk hanya untuk perubahan.
3. Konstitusi di Indonesia
Para pendiri negara dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyatakan bahwa bangsa Indonesia memerlukan ground wet. Ground berarti dasar dan wet berarti undang-undang. Ground wet dalam bahasa Belanda diartikan sebagai Undang-Undang Dasar. Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945 me netap kan hukum dasar tertulis berupa Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tersebut dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945.
Sejak proklamasi kemerdekaan sampai sekarang, bangsa Indonesia telah memberlakukan tiga macam Undang-Undang Dasar dalam empat periode, yaitu sebagai berikut.
a. Periode UUD 1945 pertama (18 Agustus 1945–27 Desember 1949).
b. Periode Konstitusi RIS (27 Desember 1949–17 Agustus 1950).
c. Periode UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950–5 Juli 1959).
d. Periode UUD 1945 kedua (5 Juli 1959–sekarang).
a. Periode UUD 1945 (18 Agustus 1945–27 Desember 1949)
Saat Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia yang baru merdeka belum memiliki Undang-Undang Dasar. Kemudian, pada 18 Agustus 1945 PPKI mensyahkan UUD. Selintas mungkin kita bertanya apakah BPUPKI memiliki kewenangan untuk menyusun UUD dan apakah PPKI memiliki kewenangan untuk menetapkan UUD. Padahal UUD itu sendiri mengatakan bahwa yang menyusunan menetapkan UUD adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
BPUPKI sebagai lembaga yang menyusun Undang-Undang Dasar dibentuk pada 28 Mei 1945. BPUPKI beranggotakan 62 orang. Dr. K. R. T. Radjiman sebagai ketua dan R.P Saroso sebagai wakil ketua. Sidang BPUPKI dapat dibagi dalam dua masa, yaitu masa sidang pertama dari tanggal 29 Mei–1 Juni 1945 dan masa sidang kedua dari tanggal 10–17 Juli 1945. Masa sidang pertama lebih mengarah kepada pembentukan dasar negara, sedangkan tahap penyusunan Undang-Undang Dasar dilakukan dalam masa persidangan kedua. Setelah BPUPKI selesai melaksanakan tugasnya untuk menyusun rancangan UUD dibentuklah PPKI. PPKI pada awalnya adalah lembaga yang di bentuk oleh Jepang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Ternyata pada saat itu kekuasaan Jepang mulai melemah sehingga memberikan peluang kepada bangsa Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia melalui PPKI. Oleh karena itu, bangsa Indonesia berinisiatif menambah jumlah anggota PPKI yang semula berjumlah 21 orang menjadi 26 orang. PPKI pada 18 Agustus 1945 mengadakan persidangan yang salah satu ke putusan nya adalah menetapkan UUD 1945. Hal-hal yang telah disusun oleh BPUPKI banyak yang disetujui oleh PPKI. Contohnya Pembukaan UUD 1945 yang pada awalnya bernama Piagam Jakarta yang disusun oleh Panitia Sembilan yang dibentuk BPUPKI. Piagam Jakarta mengalami pengubahan dengan menghilangkan tujuh kata pada alinea keempat yaitu “dengan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, kemudian seluruh isi dari Piagam Jakarta dijadikan sebagai Pembukaan UUD 1945.
Apakah UUD 1945 tersebut sah dijadikan sebagai konstitusi karena disusun oleh lembaga yang tidak setingkat dengan konstituante (MPR)? Pada saat itu MPR belum ada sehingga PPKI dapat dianggap badan pembentuk negara yang mewakili berbagai golongan masya rakat Indonesia saat itu. Berdasarkan pendapat Hans Kelsen (pakar hukum tata negara), yang kemudian dikutip oleh Prof. Ismail Sunny (pakar hukum tata negara) dikemukakan sah tidaknya suatu Undang-Undang Dasar harus dipertimbangkan dengan berhasil tidaknya suatu perubahan dan apa-apa yang dihasilkan dalam perubahan tersebut (UUD) adalah sah. Sebagaimana kamu ketahui, bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya dengan jalan revolusi.
Undang-Undang Dasar yang dibuat dalam masa revolusi tersebut menjadi suatu konstitusi yang sah. Sejak tahun 1999, UUD 1945 telah ditetapkan oleh MPR dengan mengubah dan menambah pasal-pasal yang telah ditetapkan PPKI sebelumnya. Sampai tahun 2004, MPR telah empat kali mengadakan pengubahan terhadap UUD 1945. Salah satu bentuk dari pelaksanaan Amandemen keempat UUD 1945 adalah adanya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
b. Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949–17 Agustus 1950)
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, secara berangsur-angsur Belanda ingin menguasai kembali Indonesia. Sifat dan taktik licik penjajah yang selalu ingin mengadu domba dan memecah belah bangsa Indonesia kembali ditunjukkan oleh Belanda dengan cara mendirikan negara-negara boneka. Negara-negara tersebut tidak diberikan hak apapun, kecuali harus tunduk dan patuh terhadap pemerintahan Hindia Belanda, seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Irian Barat, dan Negara Jawa Timur.
Kuatnya perlawanan bangsa Indonesia dan atas tekanan Inter nasional diadakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB) dari 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949.
KMB dihadiri oleh perwakilan Indonesia, Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), Belanda, dan sebuah komisi PBB untuk Indonesia.
Konferensi Meja Bundar menghasilkan tiga buah persetujuan pokok, yaitu:
1) mendirikan negara Republik Indonesia Serikat;
2) penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat;
3) didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.
Sementara itu untuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang akan didirikan ini, akan dibuatkan sebuah rancangan Undang-Undang Dasar oleh Delegasi Republik Indonesia bersama-sama dengan Delegasi Bijeenkomst Voor Federal Overleg (BFO). Setelah rancangan Undang-Undang Dasar itu dibuat, disetujui, dan diterima oleh kedua belah pihak, kemudian Undang-Undang Dasar tersebut mulai diberlakukan pada 27 desember 1949. Undang-Undang Dasar ini diberi nama “Konstitusi Republik Indonesia Serikat.”
Konstitusi RIS yang mulai diberlakukan sejak 27 Desember 1949 telah mengubah secara mendasar konstelasi (tatanan) ketatanegaraan, hal ini dapat diketahui misalnya dari bentuk negaranya. Jika dalam UUD 1945 bentuk negara yang ditentukan adalah “kesatuan,”akan tetapi dalam konstitusi RIS bentuk negara yang dikehendaki adalah bentuk “federasi atau serikat.” Negara yang berbentuk federasi atau federal pada hakikatnya adalah suatu negara yang terdiri atas negara-negara bagian.
c. Periode UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950–5 Juli 1959)
Bangsa Indonesia yang terlahir sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sesungguhnya menghendaki sebuah negara kesatuan. Oleh karena itu, negara federal atau federasi seperti yang dibentuk berdasarkan perjanjian Konferensi Meja Bundar yang dikuatkan dengan diberlakukannya Konstitusi RIS tidak dapat bertahan lama. Beberapa negara bagian akhirnya meminta bangsa Indonesia yang terpecah belah dalam Republik Indonesia Serikat kembali ke negara kesatuan Republik Indonesia.
Dibentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia disepakati pada 19 Mei 1950. Negara kesatuan yang baru didirikan kembali jelas memerlukan Undang-Undang Dasar (UUD). Setelah itu, dibentuklah suatu Panitia bersama yang menyusun rancangan Undang-Undang Dasar. Rancangan UUD itu disusun oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta Senat RIS. UUD yang baru berlaku pada 17 Agustus 1950.
Undang-Undang Dasar 1950 seperti Konstitusi RIS juga bersifat sementara oleh karenanya disebut UUDS 1950. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 134. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa Konstituante bersama dengan pemerintah menyusun UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUD yang berlaku pada saat itu (UUDS 1950).
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 berhasil mem bentuk Konstituante melalui pemilu pada Desember 1955. Pada 10 November 1956 di Bandung diresmikanlah Konsti tuante. Setelah dua setengah tahun Konstituante terbentuk, Konstituante belum dapat menyelesaikan tugasnya. Kegagalan Konstituante untuk membentuk UUD disebab kan karena Konstituante tidak pernah mencapai suara quorum atau 2/3 suara, untuk mencapai keputusan seperti yang ditentukan dalam UUDS 1950. Hal ini terjadi karena ada perbedaan pendapat yang sangat tajam antara golongan Islam dan golongan nasionalis yang tidak dapat dipertemukan.
Untuk mengatasi kebuntuan di Konstituante, Presiden pada 22 April 1959 memberikan amanatnya dalam sidang Pleno Konsti tuante. Amanatnya berisi anjuran agar Konstituante menetapkan UUD 1945 sebagai UUD yang tetap bagi Republik Indonesia. Namun, setelah diadakan beberapa kali persidangan dan pemungutan suara, ketentuan quorum tidak dapat tercapai. Pemungutan suara untuk melaksanakan anjuran Presiden dilak sanakan Konstituante tiga kali berturut-turut dengan hasil sebagai berikut.
1) Pemungutan suara I, tanggal 30 Mei 1959 hadir 478 anggota, setuju 269, dan tidak setuju 199.
2) Pemungutan suara II, tanggal 1 Juni 1959 hadir 469 anggota, setuju 264, dan tidak setuju 204.
3) Pemungutan suara III, tanggal 2 Juni 1959 hadir 469 anggota, setuju 263, dan tidak setuju 203.
Kemandegan Konstituante dalam menyusun UUD dan situasi tanah air pada waktu itu mendorong Presiden  Soekarno untuk menge luar kan dekrit pada 5 Juli 1959. Isi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu sebagai berikut:
1) Pembubaran Konstituante
2) UUD 1945 berlaku kembali
3) UUDS 1950 tidak berlaku lagi
4) Dibentuknya MPRS dan DPAS
d. Periode UUD 1945 (5 Juli 1959–Sekarang)
Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupa kan solusi atas kebuntuan Konstituante. Bangsa dan negara Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 sebagai pedoman dasar dalam penyeleng garaan dan ke hidupan bernegara. Terlepas dari penyimpangan terhadap UUD 1945 yang pernah dilakukan Orde Lama dan Orde Baru, UUD 1945 menjadi Konstitusi negara yang tetap berlaku sampai sekarang ini.
Pada 1985 melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum, pemerintah mengubah ketentuan untuk perubahan UUD 1945. Ketentuannya adalah untuk mengubah UUD 1945 harus dilakukan dengan persetujuan rakyat atas kehendak MPR. UUD 1945 yang dibuat oleh BPUPKI dan ditetapkan oleh PPKI belum mendorong MPR untuk kembali menetapkan UUD 1945. Ketentuan tentang Referendum jika dikaji dan dihubungkan dengan Pasal 37 UUD 1945 jelas me nunjuk kan suatu penafsiran yang berbeda. Berdasarkan pemahaman tersebut, MPR melalui ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998 mencabut ketentuan referendum sebagai salah satu tahap untuk mengubah UUD 1945. Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2004, MPR telah mengamandemen (mengubah/menambah) UUD 1945 sebanyak empat kali. Dengan telah ditetapkannya (Amandemen) dan dengan ditetapkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945. Adapun hasil perubahan UUD 1945 yang keempat terdiri atas 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan.

4. Penyimpangan - Penyimpangan Terhadap Konstitusi

Dalam praktik ketatanegaraan kita sejak 1945 tidak jarang terjadi penyimpangan terhadap konstitusi (UUD). Inilah berbagai penyimpangan terhadap konstitusi, yang kita fokuskan pada konstitusi yang kini berlaku, yakni UUD 1945.

1.       Penyimpangan terhadap UUD 1945 masa awal kemerdekaan, adalah:
a.       Keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober  1945 yang mengubah fungsi KNIP dari pembantu menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif.
b.      Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang merubah sistem pemerintahan presidensial menjadi parlementer.

2.       Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa orde lama, adalah:
a.       Presiden telah mengeluarkan produk peraturan dalam bentuk Penetapan Presiden, yang hal itu tidak dikenal dalam UUD 1945.
b.      MPRS, dengan Ketetapan No. 1/ MPRS / 1960 telah menetapkan pidato presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul penemuan kembali revolusi kita sebagai GBHN yang tetap.
c.       Pimpinan lembaga-lembaga negara di beri kedudukan sebagai menteri-menteri negara.
d.      Hak budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapat persetujuan DPR.
e.      Pada tanggal 5 Maret 1960, presiden membubarkan anggota DPR hasil pemilihan umum 1955.
f.        MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui Ketetapan Nomor III /MPRS /1963.

3.       Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa orde baru
a.       MPR berketetapan tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadap UUD  1945 serta akan melaksanaannya secara murni dan konsekuen.
b.      MPR mengeluarkan ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum  yang mengatur tata cara perubahan UUD yang tidak sesuai dengan pasal  37 UUD 1945.

Setelah perubahan UUD 1945 yang keempat (terakhir) berjalan kurang lebih 6 tahun, pelaksanaan UUD 1945 belum  banyak  dipersoalkan. Namun demikian, terdapat ketentuan UUD 1945 hasil perubahan yang belum dapat dipenuhi pemerintah, yaitu anggaran pendidikan dalam APBN yang belum mencapai 20%. Hal itu bertentangan dengan pasal 31 ayat (4) UUD 1945yang menyatakan aggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN.
5. Korupsi Dan Pemberantasannya

Kleptokrasi (Pemerintahan yang dipimpin oleh para pencuri). Itulah argumen yang paling tepat dilontarkan oleh setiap orang yang dengan serius mencermati maraknya korupsi DI Indonesia pada umumnya dan khususnya di Nusa Tenggara Timur. Data terkini hasil survei yang dilakukan oleh Transparancy International Indonesia (TII), sejak tahun 1995 sampai dengan 2006  menunjukan bahwa Indonesia senantiasa menempati peringkat 10 besar kategori negara terkorup di dunia.

Pada konteks NTT, catatan akhir tahun 2006 dari Perkumpulan Pengembang Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT,  menunjukan bahawa dari 75 kasus dugaan  korupsi yang dipantau oleh PIAR-NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar    Rp. 406.694.358.657,00 dengan sebaran yang cukup merata di setiap kabupaten/kota, maupun propinsi. (Lih. Diagram).
 Data PIAR-NTT pada tahun 2006 ini, dipertegas dengan hasil temuan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTT Selama periode   2003-2007, yang di publikaiskan pada tanggal 30 Mei 2007 menunjukan bahwa di NTT terdapat 1.967 Kasus dugaan Korupsi dengan indikasi kerugian negara sejumlah Rp. 50.061.226.820,54. Dari temuan itu sudah ditindak lanjuti sebanyak 1.080 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar  Rp. 32.437.826.139,00. Sedangkan 887 kasus dengan nilai  kerugian negara sebanyak Rp. 17.623.400.680,00        yang tersebar di 16 kabupaten/kota di NTT, belum ditindak lanjuti.
 Keseluruhan data ini pada prinsipnya menunjukan bahwa korupsi harus digolongkon sebagai kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) dan harus segera di berantas. Pertanyaannya adalah apakah korupsi itu? Dan Bagaimana cara memberantas korupsi di Indonesia pada umumnya dan khususnya di NTT?
Secara leksikal, perkataan korupsi berasal dari kata “Corruptio/Corruptus”  yang dalam bahasa Latin berarti kerusakan atau kebobrokan. (Soedjono Dwidjosisworo, 184 : 16). Dalam perkembangannya, Sudarto (1986 : 114-115) berpendapat bahwa istilah korupsi ini pada abad pertengahan diadopsi kedalam bahasa Inggris, yakni “Corruption” dan bahasa Belanda, yaitu “Corruptie” untuk menjelaskan atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.
Di Indonesia, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah korupsi dipersempit artinya menjadi: “setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Dari pengertian korupsi yang seperti ini, maka unsur/elemen yang terkandung dalam pasal ini dan harus dibuktikan berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah: (Lihat Box).
Menurut Syed Husein Alatas (1997), dalam ilmu sosiologis, korupsi dapat diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) jenis, yakni : Pertama, KORUPSI TRANSAKTIF. Korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan timbal balik, antara pihak yang memberi dan pihak yang menerima, demi keuntungan bersama. Kedua pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut. Contohnya, Suap dari calo TKI liar, Menyuap lembaga pengawas seperti BPKP dan Bawasda, dll.
Kedua, KORUPSI EKSTROAKTIF. Korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi(tekanan) tertentu dimana pihak pemberi dipakasa untuk menyuap guna  mencegahkerugian yang mengancam diri, kepentingan,orang-orangnya, atau hal-hal yang di hargai. Misalnya, Meminta uang komisi/pelicin pada saat pengurusan KTP, Surat Raskin, dll. Ketiga, KORUPSI INVESTIF. Korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan bagi pemberi. Keuntungan diharapkan akan diperoleh dimasa yang akan datang. Misalnya, Mengunakan dana kas desa atau proyek untuk men”service” pejabat yang meninjau, dsb.
Keempat, KORUPSI NEPOTISTIK. Korupsi berupa pemberian perlakuan khusus kepada teman atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik. Dengan kata lain, perlakuan pengutamaan dalam segala bentuk yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku. Contohnya, Menentukan kerabat dekat harus mendapatkan bantuan walaupun sebenarnya tidak layak untuk menerima bantuan, dll.
Kelima, KORUPSI AUTOGENIK. Korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk mendapat keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahu sendiri. Contohnya, Mark up harga barng dan jasa, Kualitas pekrjaan dibawah standar bestek, Discount yang tidak dilaporkan, Penggunaan biaya yang melebihi ketentuan, Pungutan tambahan, misalnya pada proyek raskin, dll.
Keenam, KORUPSI SUPORTIF. Korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi. Misalnya, Kades mengetahui ada korupsi tapi tidak melaporkan, dsb. Ketujuh, KORUPSI DEFENSIF. Suatu tindak korupsi yang terpaksa dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan. Contohnya, Memperlancar pengambilalihan tanah milik rakyat karena takut dengan atasan, dll.
Dalam prespektif ilmu pemerintahan, Robert Klitgaard, dkk (2002) berpendapat bahwa penyebab terjadinya korupsi dapat dijelaskan dengan rumus sebagi berikut: (Lihat Box). Rumus ini menerangkan bahwa korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.
Berdasarkan rumusan ini, dapat diasumsikan juga bahwa semakin besar kekuasaan serta kewenangan yang luas dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, otomatis potensi korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi.
Sejalan dengan rumus terjadinya korupsi, maka untuk memberantas korupsi, harus ada teori anti tesisnya. Mahmuddin Muslim (2004) menawarkan teori anti tesisnya, yakni: (Lihat Box). Dengan rumus seperti ini, otomatis untuk memberantas korupsi harus dibutuhkan sikap dan tindakan yang bertanggungjawab dari pejabat yang memiliki wewenang dalam menjalankan tugasnya dan orang tersebut memiliki moral yang baik, artinya orang tersebut memiliki pola hidup jujur dan sederhana tanpa ada nafsu serakah untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya.
Demi menguatkan teori anti tesis ini, otomatis diperlukan sejumlah langkah konrit. Langkah-langkah tersebut adalah: Pertama, Bentuk Lembaga Pemberantas Korupsi Yang Independen. Independensi lembaga pemberantas korupsi sangat diperlukan, agar pada saat mengusut suatu kasus korupsi tidak terkontaminasi oleh kelompok kepentingan yang pada akhirnya akan merugikan proses pemberantasan itu sendiri. Artinya, proses pemberantasan korupsi perlu dijaga dari intervensi politik dan kekuasaan yang mengganggunya.

Kedua,  Bentuk Lembaga Pemantau Pemberantasan Korupsi. Lembaga ini mempunyai peran dan fungsi monitoring terhadap kinerja dan independensi lembaga pemberantas korupsi. Bagaimanapun lembaga pemberantas mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang berpeluang untuk diselewengkan. Kasus-kasus korupsi biasanya melibatkan orang-orang yang dengan kekuasaan dan kekayaan yang tidak sedikit. Agara lembaga pemberantas korupsi dapat bekerja secara profesional, maka diperlukan pengawasan atas kinerjanya. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh oleh publik melalui Lembaga-Lembaga Non Pemerintah (Non Government Organization/NGO) dan pers/media massa.
Ketiga, Bersihkan Aparat Penegak Hukum Dari Lingkaran Setan KKN. Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: Besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.  Upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan pembersihan aparat penegak hukum dari lingkaran setan KKN adalah melakukan pembenahan system pemerintahan, membuat produk hukum yang tegas baik materi undang-undangnya maupun dalam pelaksanaannya, melengkapi fasilitas penunjang dari apart penegak hukum, melakukan pembaharuan pada system pendidikan aparat hukum dan melakukan pembenahan pada system rekruitmen.
Keempat, Mengoptimalkan Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasn Korupsi. Betapapun upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh lembaga yang independen secara tegas dan keras, namaun jelas tidak akan memperoleh hasil yang optimal jika Pemberantasan korupsi ini hanya dilakukan oleh pemerintah dan instrumen formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat yang nota bene adalah korban dari kebijakan segelintir orang (baca: Para Pemegang Kebijakan). Partisipasi dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam banyak tahapan dan dengan metode partisipasi yang bervariatif. Mulai dari dukungan politik untuk memilih pemimpin yang bersih dan bebas dari korupsi, ikut mengawasi jalannya pemerintahan, melakukan protes terhadap berbagai penyimpangan, membangun budaya anti korupsi bahkan partisipasi masyarakat juga dapat berupa pemberian sanksi sosial kepada para pihak yang terindikasi melakukan suatu perbuatan korupsi. Untuk itu diperlukan jaminan keamanan bagi masyarakat yang terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi, mulai dari tahap pelaporan kasus, sampai pada jatuhnya vonis dalam proses penegakan hukum dipersidangan.
Demikianlah sumbangan pemikiran saya, mengenai Korupsi dan pemberantasannya, kiranya pokok-pokok pikiran yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat dan mampu mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.




By :
  • Dina Rosdiana
  • Firliana Pramesdya
  • Marsya Duni Puteri
  • M. Rifki Putra
 

0 komentar: